Akhtivis dan Ukhtivis Galau: Fenomena Aktivis ‘Dakwah’ Kekinian
Oleh: Muhammad
Akmal Ashari, Komisi A FSLDK Semarang Raya
Pagi itu, saya sedang asyik berseluncur dialam maya melalui
berbagai macam fitur linimasa yang ditawarkan. Tak terkecuali aplikasi ‘berjuta-juta
umat’ seperti Instagram, Line, Facebook, Twitter dan lain sebagainya. Dari
situlah media menampilkan banyak hal termasuk wajah para orang-orang bertampang
saleh-salehah yang sering disebut sebagai seorang aktivis dakwah. Mantap!
Itulah yang saya pikirkan ketika melihat sosok-sosok inspiratif yang sebagian
besar dari mereka adalah orang-orang baik dan berkarya dimana-mana, baik kampus
ataupun masyarakat umum. Berbagai postingan dan unggahan foto keren yang
disertai caption yang menyejukkan, menjadi tipikal dari aktivis dakwah yang
turut berkecimpung di alam maya. Postingan-postingan yang positif, membangun,
hingga membangkitkan ghirah umat menjadi lawan tanding seimbang dari
konten-konten negatif yang kini telah menginfiltrasi alam maya. Dan seringkali
saya menyebut mereka sebagai ‘akhtivis’ untuk laki-laki, dan ‘ukhtivis’ untuk
perempuan hehe.
Tak
ayal, hadirnya sosok ADM (Aktivis Dakwah Medsos) menjadi inspirator bagi
muda-mudi muslim lainnya yang sedang berupaya berubah menjadi baik. Ato istilah
kerennya saat ini adalah hijrah, dengan munculnya ustadz-ustadz yang
bergaya anak muda dan aktif pula disosial media, berupaya mengajak muda-mudi
muslim kekinian untuk semangat belajar islam dan mengajak untuk ber-amar ma’ruf nahi munkar dengan jalan kekinian. Dan tentu ini
menjadi energi positif bagi dunia maya dikalangan generasi muda muslim,
khususnya di Indonesia.
Saya coba ambil topik hijrah
yang saat ini sangat mencuri hati para muda-mudi muslim untuk belajar agama.
Sejauh yang saya lihat dan saya amati, kebanyakan topik-topik tentang hijrah
diawali dari perkara hubungan antara laki-laki dan perempuan, atau kurang lebih
semua diawali dari topik tentang pacaran. Dari sinilah ADM dan ustadz-ustadz
gaul mengajak mudamudi muslim yang masih terjebak pacaran untuk segera ‘putusin
aja’ kekasih mereka dan segera beranjak ke jenjang yang lebih serius lagi (red:
nikah). Salah? Tidak, malah menurut saya memang itu yang seharusnya dilakukan
oleh muda-mudi muslim, menjauhi hubungan yang belum halal dan mempersiapkannya
dengan baik. Dari sinilah muncullah akun-akun sosial media dikalangan ADM yang
‘berdakwah’ untuk meninggalkan pacaran menuju pernikahan. Dan disinilah muncul
kembali masalah, dan akan coba saya uraikan.
Teman-teman tahu komunitas
Indonesia Tanpa Pacaran atau ITP? Wah awal mula kemunculannya sudah mengguncang
jagad alam maya se-Nusantara, apalagi sang pendiri komunitas berani mengajak
generasi muda muslim untuk menjauhi aksi pacaran dengan alasan bahwa pacaran
adalah gerbang menuju perzinaan. Keren, dan saya salut dengan keberanian sang
pendiri komunitas untuk menyuarakan melawan kebathilan dan mengajak kepada yang
haq (udah kaya aktivis belum? Hehe). Komunitas inipun mencuri perhatian
khalayak ramai dan mendapat berbagai sambutan, positif bahkan negatif, dan saya
adalah salah satu orang yang menyambut komunitas ini secara positif dan jauh
dari prasangka-prasangka negatif.
Tapi itu ketika awal berdirinya
komunitas tersebut. Sekarang saya merasakan hal yang berbeda dari kampanye yang
dilakukan ITP dan sejenisnya (red: akun-akun ‘dakwah’ nikah), lantaran ketika
apa-apa semua dihubungkan nikah. Ya, kampanye hijrah dari pacaran menjadi putus
sekarang malah menjadi sebuah gerakan ‘dakwah’ nikah muda. Bahkan dilinimasa
instagram saja, akun-akun yang berkaitan tentang ‘nikah muda’ sudah menjamur
bak musim hujan. Dan yang saya perhatikan hampir seluruhnya minim unsur edukasi
tentang marriage, yang ada hanya ngompor-ngomporin anak
muda muslim untuk nikah muda. Sekali lagi, minim edukasi. Dan yang terpengaruh
dari akun-akun tersebut justru anak-anak muda muslim yang baru
semangat-semangatnya belajar islam dan masih perlu bimbingan untuk menjalankan
syariat dalam kehidupannya. Ditambah lagi, mulai banyak bermunculan film-film
pendek romantis yang dikemas dalam kemasan ‘islami’ dengan target anak-anak
muda muslim yang baru berhijrah dan mempelajari syariat agama ini. Seruan
‘dakwah’ untuk nikah muda semakin kencang dan bisa dikatakan sebagai ‘kampanye
menjauhi perzinaan’.
‘Pernikahan sebagai solusi untuk
menjauhi perzinaan’, begitu yang dikampanyekan oleh para ‘pendakwah’ nikah
muda. Salah? Tidak, tapi tidak sepenuhnya dibenarkan. Karena untuk menjauhi
perzinaan banyak medium yang bisa dilakukan sebagai generasi muda. Tapi
sayangnya akun-akun tersebut tetap berdalih, ‘kalo nafsu sudah menggebu, apa
solusi lain selain nikah muda?’, se-fruit pemikiran yang berbahaya menurut saya,
apalagi mencatut kisah anak dari ulama-ulama terdahulu. Pantas saja gerakan ini
sering diserang oleh kelompok yang berpaham feminis, seakan-akan statement yang mereka keluarkan adalah objektivikasi perempuan. Kalau kata teman
saya yang sudah menikah (saya masih jomlo ya wkwkwk), ‘menikah itu bukan urusan
hubungan biologis saja, tapi mempersiapkan dan membangun peradaban baru
dikemudian hari’. Pertanyaannya, ‘pendakwah’ nikah muda sudah punya pemikiran
sampe sana apa belum? Hehe.
Balik lagi masalah konten
akun-akun tadi. Ternyata konten tadi juga ‘menyerang’ aktivis dakwah lho, dan ini tentu saja menurut saya menjadi tidak sehat. Kok bisa? Jelas
saja, dari kampanye-kampanye nikah muda gini orang-orang yang saya sebut
akhtivis dan ukhtivis ini bisa jadi aktivis yang baperan, galauan dan hal-hal
yang melemahkan lainnya. Dan bahayanya apabila dibawa dalam kegiatan
sehari-hari aktivis tersebut. Entah itu liqo, syuro, bahkan sampe kajian pun
pasti biasanya nyerempet-nyerempet bahas pernikahan, alasannya sih
mempersiapkan, tapi caranya gak gitu juga euyy wkwkwk.
Lagi-lagi saya mengutip
pernyataan dari sahabat saya yang sudah menikah, ‘nikah mah gausah diomongin
terus, lebih baik ente persiapkan, trus action’. Dan kebanyakan
dari aktivis ini lebih suka membicarakan, dan yang parah akh dan ukhtivis ini
sampai nge-tag lawan jenis. Misal si laki-laki A, ngetag perempuan B, ato perempuan C ngetag laki-laki D, sebuah
fenomena yang bisa membuat kita mengelus dada, ternyata ini yang menjangkiti
aktivis-aktivis dakwah saat ini. Sibuk membahas tapi lupa mempersiapkan dengan
baik, bukannya jadi aktivis yang berperan, tapi malah jadi aktivis yang
baperan.
Ada yang bertanya sama saya, ‘ah
emang kamu enggak?’, dan jawaban saya sederhana, ya saya dulu seperti itu. Tapi
ketika melihat realitas yang ada dilapangan, bahwa sikap berbaper-baperan
terhadap urusan seperti tadi hanya membuat saya lemah secara hati dan secara
pergerakan, justru saya harus baper terhadap kondisi sosial dan masyarakat yang
semakin jauh dari kata ideal. Jadi saya menulis ini pun didasari atas
penyesalan saya yang pernah menjadi akhtivis galauan. Karena aktivis yang baik
itu galau terhadap problematika umat, bukan galau terhadap problematika rasa
(hiya hiya hiya). Perihal urusan terkait pernikahan, lebih baik mempersiapkan
dan beraksi jika sudah waktunya. Kalau ibadah sholat yang hanya 5 sampai 10
menit saja ada ilmunya, apalagi soal pernikahan yang merupakan ibadah seumur
hidup? Karena yang dipertaruhkan adalah generasi setelah kita, dan anak-anak
kita berhak diasuh oleh orang tua yang baik agamanya, dan cerdas dalam
berfikirnya.
Akhirul kalam, ayo kawan-kawanku
sesama aktivis dakwah. Sejenak kita lupakan baper dan galau terhadap perasaan
dan lawan jenis. Paling penting adalah galau dan baperlah terhadap problematika
umat dan rakyat, karena umat dan rakyat bangsa ini membutuhkan akhtivis dan
ukhtivis yang siap berperan untuk agama dan bangsanya. Amat sangat membanggakan
jikalau para aktivis dakwah bisa turut membangun bangsanya dengan kesalehan
individual dan sosialnya, tentu akan membanggakan Indonesia, orang tua dan
calon mertua (ehhhhhhhhh keceplosan).
*Oh iya, saya
menulis ini sembari mendengarkan lagu-lagu metal biar tidak terbawa suasana dan
perasaan wkwkwk….
Komentar
Posting Komentar