Lembaga Dakwah Kampus (LDK) dan Phobia Gerakan Ekstra
Oleh: Muhammad Akmal Ashari, Komisi A FSLDK Semarang Raya
Saya pernah mendapat pertanyaan dari
salah seorang peserta ketika memasuki sesi tanya jawab sebuah training di salah
satu lembaga dakwah fakultas;
“Mas, bagaimana caranya untuk
menjelaskan dan meyakinkan ke orang-orang di luar LDK, kalau LDK itu bebas dan
tidak ditunggangi kepentingan ormas apapun?” (red: gerakan ekstra kampus)
Sekilas
tidak ada yang salah dalam pertanyaan ini. Dan itu sangat wajar dalam sesi
tanya jawab apalagi ketika masa-masa training yang berkaitan dengan Lembaga
Dakwah Kampus. Namun dari pertanyaan ini menimbulkan keresahan dalam benak
saya. Tidak, saya tidak menyalahkan sipenanya yang mengajukam pertanyaan
seperti itu, namun hati kecil saya malah balik bertanya;
“Sebegitu phobia kah kader
LDK dan orang-orang di luar LDK dengan gerakan ekstra kampus?”
Pertanyaan
ini saya dapatkan bertepatan dengan momen pasca pemira, yang kita tau pemira
adalah momen ‘keributan mahasiswa setahun sekali’, bukan sebagai ajang pesta
demokrasi mahasiswa dan ajang unjuk gigi mahasiswa untuk mengeluarkan
gagasan-gagasan terbaiknya untuk BEM dan kampusnya sendiri. salah satu sumber
keributan yang saya sarikan adalah adanya isu penggerakan LDK oleh salah satu
gerakan ekstra kampus. Ya, apalagi kalau bukan
Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI). Kedekatan sejarah dan
kultural antara LDK dengan KAMMI, semakin membuat khalayak kampus meyakini
bahwa LDK bagian dari KAMMI ataupun KAMMI menggerakan LDK, kira-kira itulah isu
yang berkembang sampai detik ini.
Kurang
lebih itulah yang ditanyakan seorang peserta pada Saya. Meskipun yang
bersangkutan tidak menyebutkan secara eksplisit organisasi apa yang
‘menunggangi’ LDK, tapi saya cukup yakin bahwa yang dimaksud si peserta adalah
KAMMI. Tapi, bukan itu yang saya ingin bahas. Bukan kedekatan antara KAMMI
dengan LDK, maupun kader-kader akar rumput LDK yang cenderung memenangkan salah
satu pasangan calon ketua BEM yang diusung oleh KAMMI, namun adanya fobia kader
LDK terhadap gerakan ekstra kampus yang berasas Islam.
Saya
pikir kader-kader LDK jaman sekarang perlu penyegaran kembali bagaimana lembaga
besar seperti LDK maupun FSLDK dapat terbentuk di kampus-kampus dan di
Indonesia, yang hingga sampai saat ini menjadi salah satu organisasi dengan
jaringan yang luas dan besar. Penyegaran bisa berupa membaca kembali sejarah
LDK itu terbentuk, dan siapa saja yang menjadi penggerak utama dakwah kampus
pada masa-masa awal terbentuknya.
Penggerak,
itulah kunci dalam sebuah aktivitas pergerakan apapun, termasuk pergerakan
dakwah kampus. Elemen-elemen yang aktif dalam aktivitas dakwah kampus dapat
dikatakan sebagai motor penggerak dakwah kampus itu sendiri. Disitulah beragam
kelompok pergerakan termasuk gerakan ekstra kampus yang berasaskan Islam, turut
menyumbang peran penting dalam aktivitas awal dakwah kampus.
Saya
akan coba menarik sejarah awal mula dakwah kampus di Indonesia dan yang
berpusat di pulau Jawa. Aktivitas dakwah kampus di Indonesia bermula ketika
Orde Baru berkuasa dan menerapkan asas tunggal pancasila. Hal inilah yang
menyebabkan banyak gerakan dari berbagai asas merasa terpinggirkan oleh
kebijakan Orde Baru pada masa itu. Termasuk gerakan-gerakan yang berasaskan
Islam, ikut terpinggirkan oleh kebijakan rezim ataupun terpaksa menerima asas
tunggal pancasila.
Kondisi
inilah yang akhirnya memaksa beberapa orang dari kelompok-kelompok Islam
membentuk sebuah gerakan dakwah yang bermula dari masjid kampus. Dan sekitar
medio 70an muncul sebuah training yang dilakukan oleh masjid Salman ITB.
Training tersebut dinamakan Latihan Mujtahid Dakwah atau yang populer disebut
LMD. Pelatihan ini didirikan oleh aktivis Masjid Salman ITB sekaligus tokoh
aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yakni Muhammad Imaduddin Abdulrahim atau
yang lebih akrab dipanggil Bang Imad. Dan hingga kini, LMD masih aktif untuk
mencetak kader-kader dakwah dikalangan intelektual kampus sejak awal
berdirinya.
Namun
bukan keinginan saya membahas LMDnya, namun peran seorang aktivis gerakan
mahasiswa dalam upaya pembentukan aktivitas dakwah kampus. Kita tahu bang Imad
sebagai seorang aktivis HMI yang notabene HMI selain gerakan Islam namun juga
sebagai gerakan politik ekstraparlementer. Keberadaan HMI dimasa masa awal
aktivitas Dakwah Kampus menjadi bukti nyata keterlibatan gerakan mahasiswa
ekstra kampus turut menyumbang peran dalam aktivitas awal dakwah kampus.
Gerakan-gerakan
dakwah kampus makin menggeliat di seluruh kampus-kampus negeri di pulau Jawa. Hampir
setiap kampus besar di pulau Jawa mendirikan lembaga kerohanian Islam yang kita
kenal sebagai Lembaga Dakwah Kampus (LDK). Puncaknya, pada tanggal 24 dan 24
Mei 1986, beberapa LDK se-Jawa mengadakan pertemuan di UGM dengan LDK Jamaah
Shalahuddin sebagai tuan rumahnya dan mendirikan apa yang disebut sebagai Forum
Silaturahmi Lembaga Dakwah Kampus (FSLDK). Melalui FSLDK inilah, aktivitas
dakwah di kampus-kampus terus menggeliat, dan membesar hingga 32 tahun
keberjalanannya.
LDK
lahir dari rahim pergerakan mahasiswa, dan melahirkan pergerakan mahasiswa.
Sebuah pernyataan yang tidak bisa dianggap sebuah ilusi ataupun kebohongan
belaka. Seperti yang telah saya bahas sebelumnya bahwa LDK lahir dari
pergerakan mahasiswa melalui aktivis pergerakan semacam HMI, dan era reformasi
menjadi momentum lahirnya pergerakan baru dari rahim FSLDK.
Seperti
yang telah saya sebutkan sebelumnya, rezim Orde Baru menerapkan asas tunggal
Pancasila sebagai senjata pamungkas untuk menangkal grakan-gerakan yang
dianggap subversif. Termasuk gerakan-gerakan Islam Politik yang menjadi sasaran
kecurigaan dari rezim Orba. Peristiwa Talangsari, Peristiwa Tanjung Priok,
hingga peristiwa Komando Jihad menjadi contoh dari tindakan represif rezim Orde
Baru terhadap kekuatan Islam.
Puncaknya
adalah munculnya isu Jilbab sebagai pakaian kelompok ekstrimis, pengawasan
pengajian yang dilakukan oleh intelejen di berbagai masjid. Tindakan-tindakan
rezim inilah yang membuat aktivis mahasiswa menginginkan adanya perubahan dan
menjadi pelopor pergerakan. ‘Dari gerakan sosial-keagamaan, hingga gerakan
politik’, kurang lebih seperti itulah
perubahan pergerakan yang dilakukan oleh mahasiswa muslim menjelang tahun 1990.
Banyak mahasiswa muslim yang tergabung dalam gerakan dakwah kampus menyuarakan
protes atas kebijakan rezim yang tidak pro terhadap Islam. Gerakan ini pun
meluas dan akhirnya rezim pun mencabut kebijakan-kebijakan yang tidak pro
terhadap Islam.
Dari
sinilah peran aktivis dakwah kampus yang tergabung dalam LDK maupun lembaga
kemahasiswaan lainnya untuk menyuarakan perlawanan terhadap rezim. Meskipun
awalnya hanya menyuarakan protes dan gerakan sosial-keagamaan, namun yang
didapat justru lebih meluas lagi, protes-protes yang dilakukan oleh mahasiswa
meluas hingga menjadi gerakan yang bersifat nasional. Puncaknya? Menjelang tahun
1998 ketika rezim akan runtuh, timbul gelombang protes yang dilakukan oleh
elemen-elemen gerakan mahasiswa dan rakyat.
Lalu
bagaimana peran LDK? Tentu LDK punya peran penting dalam gerakan ini. Salah
satunya adalah LDK melahirkan gerakan baru pada momentum Muktamar FSLDK di
Universitas Muhammadiyah Malang tanggal 29 Maret 1998, yang ditandai lahirnya
organisasi mahasiswa ekstra kampus yang dikenal dengan nama Kesatuan Aksi
Mahasiswa Muslim Indonesia atau KAMMI. Siapa saja orang-orangnya? Tentu yang
pernah aktif di LDK, dan sebagian aktivis mahasiswa dari beragam organisasi
mahasiswa muslim se-Indonesia.
Lalu
muncul kembali pertanyaan awal, apakah memang benar aktivis LDK zaman sekarang
begitu phobia dengan gerakan ekstra? Padahal sejarah membuktikan bahwa LDK
dilahirkan dari rahim pergerakan mahasiswa dan LDK pula yang turut melahirkan
pergerakan mahasiswa. Dari sinilah justru aktivis LDK perlu mempertajam lagi
wawasan mereka bagaimana wadah pergerakan LDK dapat lahir dan membumi di Bumi
Nusantara, serta memperkuat budaya literasi agar tidak mudah terpengaruh dan
tergoyahkan oleh banyak hal yang mendiskreditkan tindak tanduk LDK dizaman
sekarang.
Akhirul kalam
Iqro wahai akhi
ukhti! Iqro!
Komentar
Posting Komentar