Kemerdekaan yang Hakiki
Oleh: Muhammad Akmal Ashari
Padang
pasir yang panas menjadi saksi. Sesosok tubuh berkulit hitam legam tak berdaya
ditimpa sebuah batu besar yang amat berat dan panas. Tubuhnya terpenjara,
fisiknya dikungkung dan dipaksa untuk tetap melayani majikannya. Hak-haknya
sebagai manusia dirampas oleh sang majikan, dan hanya boleh menyembah apa yang
tuannya sembah. Ya, dialah Bilal ibn Rabbah, seorang sahabat rasul yang berasal
dari Habasyah yang nasibnya begitu miris lantaran dirinya menjadi budak seorang
Quraisy.
Hingga hari itu tiba, Bilal ketahuan
oleh tuannya karena telah bersyahadat dan memeluk Islam. Ajaran baru yang
dibawa oleh Rasulullah di jazirah Arab. Murka. Itulah ekspresi dari tuannya.
Bilal pun dihukum dengan cara ditimpa batu yang besar ditengah padang pasir
yang panas. Dipaksa mengakui berhala-berhala. Namun akal, hati, dan lisannya
menolak kebathilan tersebut dan selalu berkata ahad… ahad… ahad… Fisiknya disiksa, badannya terpenjara, namun
akal, hati, dan lisannya merdeka. Itulah kemerdekaan yang hakiki.
Di sebuah wilayah di Afrika Utara,
ada seorang ulama pejuang yang mati-matian memimpin rakyat dan umatnya untuk
bersatu melawan pemerintah kolonial Italia. Omar Mukhtar namanya, berjuluk
Singa Padang Pasir dan gerakannya begitu militan serta mempersulit ruang gerak
pasukan Italia di medan gurun negeri Libya. Namun ulah para pengkhianat, Sang
Singa Padang Pasir berhasil ditangkap oleh pemerintah Kolonial Italia. Namun
suaranya masih tetap menggema, karena didalam akal dan hatinya, menolak segala
bentuk penjajahan dan penindasan. “Libya Merdeka”, kira-kira itulah yang ada
didalam benaknya. Hingga pada akhir hayatnya, tiang gantungan menjadi saksi
bisu dari seorang pejuang yang mati dalam keadaan merdeka. Merdeka yang
sesungguhnya.
Lalu, di sebuah negeri yang terjajah
pula ada sekelompok manusia yang mempunyai gerakan-gerakan upaya memerdekakan
dirinya dari belenggu penjajahan. “kami menghendaki adanya Zelfbestuur, atau pemerintahan yang berdiri sendiri!”, begitulah
kira-kira yang diucapkannya, menuntut hadirnya pemerintahan sendiri yang
berdaulat ditengah belenggu kolonialisme. Dialah HOS Tjokroaminoto, sosok
negarawan dan salah satu founding father
bangsa ini melalui Sarekat Islamnya tengah mengajak rakyatnya untuk merdeka
dari kolonalisme Belanda. Fisiknya terjajah, kebebasannya dibelenggu, namun
akal hati dan lisannya terus menggelorakan spirit-spirit kebebasan dari
belenggu penjajahan. Sekali lagi, itulah kemerdekaan yang hakiki.
Bagaimana dengan sekarang? Apakah
fisik kita yang telah merdeka adalah penegasan dari akal dan hati yang merdeka?
Atau jangan-jangan hanya fisik saja yang merdeka, namun akal dan hati kita
terbelenggu dari kejamnya dunia? Sungguh, kemerdekaan yang benar-benar sejati
adalah kemerdekaan secara zahir, yang dilandasi dengan merdekanya akal dan
hati. Akal dan hati yang menolak segala bentuk kebathilan. Akal dan hati yang
menolak segala bentuk penindasan dan kekejaman. Akal dan hati yang menolak
segala bentuk kolonialisme dan penjajahan. Seperti yang dilakukan para
pendahulu-pendahulu kita, akal dan hatinya bebas dari belenggu perbudakan
sekalipun fisiknya masih berada dalam perbudakan. Akal dan hatinya bebas dari
belenggu penjajahan sekalipun raganya masih terbelenggu penindasan dan
penjajahan.
Sungguh,
kemerdekaan yang hakiki adalah kemerdekaan zahir yang dilandasi akal serta hati
yang merdeka.
Sudahkah
kita benar-benar merdeka?
Milad Mubarak ya Biladi….Dirgahayu
Republik Indonesia, semoga kita benar-benar menjadi bangsa dan manusia yang merdeka.
Semarang,
17 Agustus 2019
Komentar
Posting Komentar