Refleksi Tiga Perempat Abad
Azan
dikumandangkan, pekik takbir dan teriakan merdeka menggema ke seluruh negeri.
Pada akhirnya, negeri yang telah lama mengalami penindasan dan penjajahan resmi
menjadi sebuah negeri yang berdaulat. Negeri ini pun terbebas dari belenggu
penjajahan serta penghambaan manusia kepada manusia lainnya. Tiga perempat abad
silam, negeri yang bernama Indonesia pun lahir dan bersiap menghadapi jutaan
tantangan zaman.
Tiga perempat abad kemudian, hari
ini kita menyaksikan betapa negeri yang kita cintai sedang sakit. Ancaman
pandemi yang tak kunjung usai selalu menghantui tiap insan yang ada di Bumi
Pertiwi. Belum lagi ancaman disintegrasi bangsa yang dilakukan oleh para elite
dan pecundang politik demi memuaskan syahwat pribadi serta golongannya masing-masing.
Ancaman lain berupa krisis selalu menghantui; krisis ekonomi, krisis ketahanan
pangan, hingga yang paling fatal adalah krisis pendidikan, serta krisis adab
dan akhlak. Lantas apa yang seharusnya kita lakukan untuk menyelesaikan segala
permasalahan ini?
Kembali pada tiga perempat abad silam, negeri Indonesia sedang sibuk untuk melepaskan dirinya dari belenggu penjajahan. Dalam bilik-bilik diplomasi, para politisi ulung sedang bertarung secara halus dengan para penjajah negeri. Dialektika, saling serang argumen, dan lobi-lobi politik dijalankan demi lepasnya negeri ini dari belenggu penjajahan. Dari jalanan, hutan dan perkampungan, ribuan pejuang mewakafkan diri dan rela darahnya tertumpah demi kemerdekaan negeri yang dicintainya. Dari bilik masjid dan pesantren hingga sekolah-sekolah rakyat, para guru, alim-ulama dan para santri terus mendidik umat dan rakyat agar memiliki mental pejuang, menanamkan semangat jihad, semangat perjuangan dan semangat perubahan ke dalam segenap hati nurani umat dan rakyat.
Tiga perempat abad silam, kesadaran kolektif seluruh elemen rakyat dibangun dengan apiknya. Hasrat untuk mengubah nasib bangsa begitu kuat, berbekal spirit Langit bahwa ‘Allah tidak akan mengubah nasib satu kaum sebelum kaum tersebut mengubah diri mereka sendiri’. Hingga pada akhirnya, tercantumlah dengan lantang dalam pembukaan konstitusi kita ‘Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya!’. Problematika penjajahan yang menghantui bangsa Indonesia pada masa lampau pun akhirnya terkikis. Semua berkat pertolongan Allah dan keinginan luhur segenap rakyat Indonesia
Barangkali hal-hal tersebutlah yang
perlu kita teladani untuk menyambut dan merfleksikan tiga perempat abad
republik ini. Walaupun tantangan masa lalu berbeda dengan tantangan masa kini,
hendaknya ada pelajaran penting yang patut dipelajari dan diimplementasikan
dengan baik. Apa itu? Bahwa bangsa ini hendaknya memiliki keinginan untuk
mengubah dirinya ke arah yang lebih baik.
Its simple, setidaknya setiap elemen bangsa yang kita cintai memiliki
hasrat untuk mengubah nasib bangsanya kearah yang lebih baik!
Lantas apa yang harus dibenahi
terlebih dahulu? Dimulai dari membenahi krisis yang paling dasar dan
fundamental, yakni krisis pendidikan, adab dan akhlaq. Sudah tiga perempat abad
Republik ini berdiri dengan gagah, masih saja ditemukan anak-anak yang tidak
dapat bersekolah dan memperoleh pendidikan dengan baik. Minimnya fasilitas
pendidikan, serta kurangnya perhatian dari seluruh elemen bangsa ini. Bukankah
pendidikan telah diamanatkan kepada kita semua dalam konstitusi kita? Bahwa
setiap orang berhak untuk mendapatkan pendidikan, dan para pengelola negeri ini
wajib untuk memfasilitasi pendidikan kepada setiap rakyatnya. Masalah
berikutnya, dampak dari sistem pendidikan yang kurang baik akan menghasilkan output
yang minim adab dan akhlaq. Lihat saja, bagaimana saat ini banyak guru yang
mempunyai misi mulia mencerdaskan anak didiknya namun dilecehkan oleh murid dan
wali muridnya sendiri! Ini nyata, dan barangkali krisis adab inilah yang
membuat negeri yang kita cintai dihadapi berbagai krisis lainnya. Buya Hamka
pernah mengatakan, pemerintah Indonesia perlu mengadakan sebuah Panitia Negara
untuk mengatasi krisis akhlak. Lebih konkret lagi, setiap elemen bangsa
termasuk rakyatnya harus menjadi anggota Panitia Negara tersebut dan
berkewajiban mengatasi krisis akhlak. Seminimalnya mengurus satu orang, yakni
dirinya sendiri, dilanjutkan keluarga, masyarakat, dan negeri yang kita cintai.
Bukankah aksi itu dilakukan pula oleh para pendiri negeri yang kita cintai?
Rasa-rasanya penting juga kita merefleksikan bagaimana persatuan menjadi barang langka dikala tiga perempat abad Republik ini berdiri. Diatas sana, banyak elite dan pecundang politik yang hanya mementingkan syahwat kekuasaan golongannya sendiri, rakus akan harta kekayaan dengan dalih investasi tanpa mempertimbangkan kesejahteraan rakyat banyak, hingga ujaran-ujaran minim edukasi terucapkan para elite yang menimbulkan kegaduhan ditengah masyarakat dan memecah belah masyarakat. Padahal, amanat Pancasila Persatuan Indonesia sudah jelas. Apakah kini hanya menjadi slogan semata? Tapi diluar sana masih banyak perseteruan antar anak bangsa. Benarlah apa yang dikatakan oleh Bung Besar, bahwa perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, sedangkan perjuanganmu lebih sulit karena engkau melawan bangsa sendiri.
Penderitaan republik diusianya yang tiga perempat abad ditambah pula dengan air keras perusak keadilan, yang membutakan potret penegakan hukum negeri kita? Bukankah amanat Pancasila dalam sila kelima harus dijalankan? Faktanya hanya menjadi slogan kosong yang dihapalkan untuk upacara bendera saja, tanpa adanya implementasi dalam lembaga penegakkan hukum. Koruptor kelas kakap saja bisa lolos dari jeratan hukum, mirisnya para oknum penegak hukum lah yang membantu penjahat tersebut lolos dari kejaran aparat penegak hukum. Sedih? Ya, namun itulah fakta diusia tiga perempat abad republik ini.
Masalah belum usai, namun negeri
yang kita cintai harus menghadapi musuh tak kasa mata. Pandemi Covid-19 seakan
menambah daftar ujian yang menyakitkan dan kado pahit usia tiga perempat abad
republik ini. Betapa minimnya fasilitas kesehatan, tenaga kesehatan yang
berjibaku pun satu persatu berguguran menjadi korban penularan. Belum lagi
bermunculan para ‘pakar dadakan’ yang seakan mengetahui segalanya padahal
mereka semua hanya berdusta. Hingga kegagapan para elit negeri ini dalam
menghadapi situasi yang semakin pelik. Puncaknya? PHK dimana-mana, rumah sakit over capacity, pertumbuhan ekonomi
semakin merosot, ancaman krisis pangan, semakin menurunnya kualitas pendidikan,
dan hal pahit lainnya menjadi kado yang sangat berharga bagi tiga perempat abad
usia republik. Pahit memang, tapi negeri ini dilahirkan oleh tangan-tangan yang
kuat. Wajib bagi para anak-cucu republik untuk bersama-sama memperbaiki keadaan
republik yang dicintainya.
Ada sebuah statement menarik dari
seorang public figure, bahwa
Indonesia memang tidak sempurna, namun layak untuk diperjuangkan. Refleksi
seperti inilah yang diperlukan bagi kita sebagai anak-cucu republik, bahwa
bangsa ini banyak sekali menghadapi situasi yang tidak baik-baik saja. Namun
yang pasti, di dalam tubuh manusia Indonesia, mengalir deras darah para
pahlawan yang telah gugur dalam membela bangsa dan negara. Kita adalah bangsa
yang tak pantang menyerah dan selalu siap menghadapi tantangan global. Dan
jangan lupa, negeri ini memasuki pintu gerbang kemerdekaan atas berkat rahmat
Allah Yang Maha Kuasa yang disertai keinginan luhur untuk merdeka dari belenggu
penjajahan.
Merdeka!
Komentar
Posting Komentar