Narasi Basi di Perguruan Tinggi

Beberapa waktu lalu, beberapa adik tingkat yang masih menempuh studi di kampus membicarakan masalah yang sedang hangat di kampus. Ketika membaca percakapan mereka, Saya pun mengetahui bahwa yang dibicarakan oleh mereka adalah sebuah tantangan yang kerap kali menyasarnya. Ternyata, dalam pembahasan tersebut ada sebuah narasi yang disampaikan oleh pihak kampus dalam masa orientasi penerimaan mahasiswa baru. Adapun pembahasan dalam orientasi mahasiswa baru tersebut berkaitan dengan masalah Radikalisme yang ada di perguruan tinggi. Sebuah tema yang membosankan bagi Saya, lagi-lagi radikalisme, seakan permasalahan di kampus hanya itu saja. 

Kampus yang merupakan institusi miniatur negara seakan menjadi lahan propaganda bagi narasi basi yang selalu berulang-ulang tiap tahunnya. Saat ini, isu radikalisme di kampus selalu muncul, di kampus Saya, bahkan yang kemarin viral di salah satu perguruan tinggi di Kota Bandung, karena melaporkan seorang tokoh nasional dengan dalih radikalisme. Di kampus saya, bahkan ada lembaga yang dikhususkan untuk menyelidiki dan memberantas pemahaman radikalisme di kampus. Tidak ada salahnya untuk membentuk lembaga demikian, namun yang menjadi pertanyaan: apa urgensi dibentuknya lembaga tersebut? Kemudian, mengapa yang menjadi sasaran dari penyelidikan selalu berasal dari kelompok Islam saja? Dua pertanyaan tadi belum pernah terjawab dan akhirnya selalu menjadi bahan pembicaraan setiap tahunnya.

Padahal, permasalahan di perguruan tinggi tidak hanya isu radikalisme. Banyak sekali problematika di kampus yang hampir tidak pernah menjadi pembahasan setiap civitas akademika kampus. Mulai dari UKT yang terlampau tinggi dan memberatkan mahasiswa, penyakit plagiarisme yang melanda mahasiswa bahkan dosen dan petinggi kampus, pelecehan seksual, masyarakat yang tak diberdayakan, dan masih banyak lagi. Namun sayangnya, dunia akademis lebih tertarik mengangkat masalah radikalisme (lebih tepatnya mungkin ekstremisme) serta tuduhan-tuduhannya terhadap beberapa lembaga mahasiswa yang berkaitan dengan keislaman.

Saya menulis ini dalam rangka kritik terhadap mereka-mereka yang selalu menjadikan radikalisme sebagai narasi untuk menyerang kelompok-kelompok tertentu yang tidak sependapat dengan mereka. Padahal, untuk mempertemukan antara dua pemikiran yang berbeda dan bertentangan yang dibutuhkan adalah sikap tenggang rasa dan berupaya untuk duduk bersama membahas permasalahan yang ada. Kampus sebagai mimbar bebas sudah seharusnya membuak ruang-ruang diskusi antara pihak satu dengan pihak yang lainnya. Kalau perlu, 'bertarung' dengan elegan memanfaatkan ruang diskusi untuk saling berdebat dan bertukar pikiran. 

Isu radikalisme yang berulang-ulang telah menjadi narasi basi. Parahnya, isu ini turut muncul dalam ranah perguruan tinggi. Padahal, banyak sekali tokoh-tokoh nasional dan pahlawan di Indonesia merupakan sosok 'radikal' pada saat mereka berada di kampus. Memiliki pemahaman kritis serta berani untuk mengevaluasi penguasa. Sekarang? Mengadakan diskusi publik yang agak 'menyentil' penguasa saja langsung kena tuduhan macam-macam. Apalagi ketika yang mengadakannya dari kelompok agamis, tuduhan radikal dan ekstremis sudah auto-tersemat dipakaian mereka. Ada sebuah kasus lainnya, seorang guru besar yang membela sebuah ormas malah diberhentikan dan tidak dapat beraktivitas lagi di kampus sebagai seorang dosen. Tuduhannya? Terlibat kegiatan radikalisme.

Pengalaman saya pun demikian, beberapa kali lembaga yang saya bina bersama beberapa rekan pernah dituding sebagai tempat kaderisasi pemikiran radikal dalam sebuah diskusi publik. Tidak ada tabayyun dan klarifikasi dari para pelacur intelektual, dengan serampangan mereka menyebut nama-nama lembaga yang kami bina sebagai sarang radikalisme. Yang menyedihkan, kelompok yang membuat penelitian tersebut berasal dari kelompok Islam. Sembarangan menuduh radikal hanya karena kami dianggap berbeda dalam pemahamannya. Di dalam ruang diskusi pun akhirnya kami mau tak mau harus bertarung intelektual dengan para peneliti tersebut hingga berlanjut dalam diskusi luar ruangan. Entah apakah rilis penelitiannya ditarik atau tidak, pastinya akan digunakan terus dalam menjual narasi basi bertajuk radikalisme, khususnya di kampus saya.

Kampus seharusnya menjadi tempat untuk menanamkan pemikiran yang radikal. Seorang dosen pernah mengatakan kepada kami, bahwa kami haruslah memiliki ilmu dengan pemahaman yang radikal, yang berarti mengakar, berprinsip dan memegang teguh nilai-nilai kebenaran. Akan tetapi, makna radikal diubah oleh para politisi pengecut, pelacur intelektual, media kolaborator, hingga pendengung kelas teri sebagai pehamaman sebagian kelompok (dalam kasus ini: kelompok Islam) yang memiliki perbedaan pandangan dengan penguasa. Akhirnya, terjadilah konflik yang tak berkesudahan sampai sekarang. Aksi saling lapor dan caci maki menghiasi jagad dunia nyata dan maya kita. Tak terkecuali, instansi perguruan tinggi. Penelitian yang seharusnya dilakukan untuk mencerahkan manusia, memberikan khazanah ilmu pengetahuan, dan penunjang modernisasi ilmu pengetahuan teknologi, para pelacur intelektual malah menggunaan riset untuk menghajar kelompok yang berbeda.

Cukupkan dan hentikanlah narasi basi radikalisme. Buka kembali mimbar bebas di perguruan, dimana beragam pemikiran mampu duduk bersama, baik mahasiswa dengan mahasiswa, mahasiswa dengan dosen, dosen dengan dosen, kalau perlu mahasiswa dengan rektor sekalipun. Buka kembali mimbar bebas tanpa ada lagi ancaman kebebasan berpendapat di perguruan tinggi. Biarkanlah kampus menjadi ajang pertarungan ide dan gagasan yang elegan dan bebas dari narasi-narasi basi yang kerap kali muncul dan memperkeruh keadaan. Fokuskanlah kampus untuk menjunjung tinggi Tri Dharma Perguruan Tinggi, untuk menyelesaikan permasalahan yang melanda kita semua. Seharusnya pula, keberadaan kampus diperlukan untuk mengevaluasi para pemangku kebijakan dan mengkritiknya dengan cara yang elegan dalam ranah akademis.

Buatlah gagasan sebaik-baiknya, bertarunglah dengan elegan, berpendapatlah dengan baik, kritiklah dengan tajam, dan jangan lupa hadirkan solusi yang mampu menyelesaikan segala permasalahan. Semua ini diawali dari kita, kampus yang berintegritas, demi mewujudkan Indonesia yang madani.

Komentar

Postingan Populer